LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -63 Views

By: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Kadang-kadang, yang mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap kepada raja-raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang kesetiannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang tegas dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun gagal merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang dia tunjukkan untuk mengusir Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) cukup untuk menempatkannya dalam sejarah.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak pernah menyerah pada tawaran yang diberikan oleh VOC meskipun menarik bagi dirinya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang telah pada waktu yang berbeda menjajah Indonesia. Perancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon pada zaman Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa sebelum kemerdekaan, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekerasan. Mereka menyulap rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap kepada raja-raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda hari ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum itu, orang dapat melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk memerintah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah semacam itu tidak sebanding dengan apa yang mereka ambil dari kita. Para penjajah memanfaatkan kedunguan beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat murah.

Ada beberapa sultan dan raja yang kesetiannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan. Banyak pemimpin idealis ini akhirnya dihadapkan oleh sesama mereka yang telah dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena provokasi, berita palsu, dan upaya memecah belah dan memerintah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang tegas dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari pemerintahan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa lainnya menjamin dia mendapat tempat yang terhormat dalam sejarah. Sampai akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran mereka menggiurkannya.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Dia adalah Sultan keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645.

Dia adalah seorang sultan dan panglima yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kerajaannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa atas perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, dia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapat gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung untuk bekerja sama, namun dia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen karena perang yang berkepanjangan melawan Surabaya. Meskipun begitu, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba untuk membina hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Pada masa itu, Banten telah terasimilasi secara budaya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditundukkan Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi pada zaman tersebut.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya yang mulia dari rakyatnya, dan pengembangan ekonomi, terutama dengan pengenalan sistem pertanian.

Source link