LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -26 Views

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus berada di antara anak buahnya saat mereka bangun di pagi hari sampai mereka tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur mereka, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan anak buah saya. Suatu kali, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit telah berubah menjadi coklat. Saya juga menemukan bahwa dapur telah menjadi sumber dari banyak praktik korup. Bayangkan saja, satu kilogram daging dibagi antara 16 orang. Di TNI, ini dikenal sebagai ‘daging razor’ karena dagingnya sehalus bilah pisau cukur. Hal itu benar-benar tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kalinya saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah saat saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat berpendidikan. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Bahkan beliau bisa sedikit berbahasa Jepang, yang ia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku-buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh hebat yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal. Rumahnya dipenuhi oleh banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, ia selalu mendiskusikan buku-buku dengan saya. Kadang-kadang ia bertanya apakah saya sudah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan militer strategis asal Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang membuat saya terkesan adalah tampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Ia selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Ia memiliki pengalaman bertempur yang panjang, dan itu terlihat dalam sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa yang tidak memiliki banyak pengalaman pertempuran. Mereka cenderung dingin dan menjaga jarak dengan anak buah mereka. Mereka selalu menginginkan ketaatan pada aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe figut seperti ini adalah PUD-minded atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan unit dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing unit. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari fajar sampai senja. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu waktu, saya pernah menemukan bahwa pakaian dalam prajurit saya berwarna coklat, tidak lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber dari banyak praktik korup. Satu kilogram daging dibagi antara 16 orang! Hal ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging razor’, daging sehalus pisau cukur. Tragis. Itulah beberapa hal strategis kepemimpinan yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karir gemilang. Ia menjadi inspirasi bagi banyak orang di angkatan darat. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah ia pensiun. Ia adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya menjenguknya di rumah sakit. Anak-anaknya bilang kepada saya bahwa selain anggota keluarga dekat, ia juga ingin bertemu dengan saya. ‘Dimana sang jenderal pejuang?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal pejuang”. Beberapa dari mereka mencoba untuk klarifikasi apakah ia maksud Prabowo. Ia mengangguk. Saya terharu mendengar ceritanya. Oleh karena itu, ketika saya datang menjenguknya, saya berdiri tegak dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbincang dalam bahasa Inggris, saya katakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘You are the real general, Sir!’ Ia meneteskan air mata. Saat itu, ia tidak dapat berbicara lagi. Itulah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sangat luar biasa bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu dengan saya di detik-detik terakhirnya. Letnan Jenderal TNI (Purn.) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie adalah sosok karismatik. Ia tampan, selalu tampil rapi. Ia dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari depan. Bahkan saat menjabat sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), ia tetap terlibat di lapangan. Ia adalah idola para pelajar, pemuda, dan idola kami, perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, ia sering membagikan pengalamannya. Saat itu, ia menanamkan dalam kami semangat keteguhan dan patriotisme. Ia juga sempat menulis buku berjudul Hidupku adalah untuk Negeri dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan dalam kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta akan tanah air dan bangga pada sejarah nenek moyang kami. Itulah yang Pak Sarwo tanamkan dalam kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih menjadi seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), namun beliau sudah sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga merupakan teman dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada saat-saat krusial pada bulan Oktober 1965 selama peristiwa G30S/PKI. Ia adalah sosok karismatik. Ia tampan, selalu tampil rapi. Ia juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), ia tetap terlibat di medan tempur, sehingga ia juga merupakan idola para kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, ia sering menceritakan pengalamannya. Saat itu, ia menanamkan dalam kami semangat keteguhan dan patriotisme. Ia juga menulis buku berjudul ‘Hidupku adalah untuk Negeri dan Bangsa’. Nilai itu ditanamkan dalam kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta akan tanah air dan bangga pada warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan dalam kami. Setelah pensiun dari dinas aktif, ia singkatnya melayani sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk beberapa waktu, ia juga menjabat sebagai Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BP7). Saya ingat betul bagaimana ia menjaga sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya, ia tidak meninggalkan banyak kekayaan ketika wafat. Kejadiannya, dalam hidupnya, ia menjodohkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Putri sulungnya dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, dari angkatan lulusan 1970; putri kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, dari angkatan lulusan 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-enam Republik Indonesia; dan putri bungsu dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga sangat mengenal ketiga perwira ini. GRAND JENDERAL TNI (PURN.) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung memiliki kesempatan yang luar biasa yang tidak banyak orang dapat alami di negara ini. Yaitu berbicara tatap muka dengan seorang tokoh kunci dari generasi ’45, seorang tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi seorang murid dari seorang aktor sejarah. Beliau sering membagikan pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak hal lainnya dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, sama seperti tokoh-tokoh lain dari generasi ’45. Dia…

Source link