LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART I)

by -31 Views

Ada pepatah yang mengatakan seorang guru sejati harus bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-murid dan anak buahnya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya untuk mencapai potensi penuh dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) KEMAL IDRIS Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi sosok TNI yang sangat terkenal. Saat itu, dia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru pada awal pemerintahan Presiden Suharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari paman saya, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata pada saya: ‘Saya adalah teman terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah sosok yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup saat ini, saya yakin dia akan menjadi Panglima Kostrad. Kau harus mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’ Saya ingat kata-katanya. Setelah saya belajar lebih banyak tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat patriotik, berani, jujur, dan terbuka. Batalyon Pak Kemal Idris adalah batalyon TNI pertama yang memasuki ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Saat itu, Pak Kemal Idris adalah seorang Mayor yang sangat terkenal. Di masa itu, menjadi tradisi bagi batalyon TNI untuk dinamai sesuai dengan komandan terkemuka. Jadi ada Batalyon Kemal Idris, Batalyon Ahmad Yani, Batalyon Poniman, dan sebagainya. Pada 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang yang berani, sangat pro-rakyat, dan nasionalis teguh. Dia sangat benci terhadap korupsi sehingga dia bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga seringkali senior-senior memandangnya sebagai “anak nakal”. Saya pernah mendengar Pak Harto sekali menyebutkan nama Pak Kemal Idris dengan senyum sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya… Kemal yang keras kepala.’ Namun para senior selalu memaafkan dan melindunginya karena dia adalah orang yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris bertempur melawan pemberontak selama tahun 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, dia menjadi sahabat dekat Pak Harto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Panglima Kostrad. Kualitas Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikap terbuka, ramah, dan humoris. Dia selalu jujur dan berpihak pada orang-orang kurang mampu. Namun, Pak Kemal Idris juga memiliki kelemahan. Dia adalah orang yang emosional dan sering membuat keputusan dan kesimpulan tergesa-gesa sebelum benar-benar memahami situasi. Terkadang, sifat ini membuatnya terjebak dalam masalah serius. Selama hidupnya, dia sering memberi saya nasihat. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya belajar banyak tentang kepemimpinan dari dia. Beberapa jam sebelum kepulangannya, ajudan pribadinya memberi tahu saya bahwa dia sangat sakit, dan saya mengunjunginya di Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas tempat tidurnya, dia berbisik pada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-katanya terakhir kepada saya, ‘Jaga Negara ini, terima kasih.’ Saya memberi hormat padanya, dan tiba-tiba, air mata mulai mengalir di wajah saya. Itu adalah momen yang penuh emosi. Saat itu, saya sudah tidak lagi menjabat sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya ketika dia mengalami momen-momen terakhir hidupnya.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) HARTONO REKSO DHARSONO Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terkuat Pak Harto. Dia berani membenahi Pak Harto, mengkritik dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya serta rekan-rekannya. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Dia sering mengenakan beret Kujang. Dia muncul sebagai sosok idola pahlawan. Dia diidolakan oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda di Jakarta.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) H. R. Dharsono dikenal oleh orang-orang terdekatnya dengan julukan Pak Ton. Pak Ton dan Pak Kemal Idris sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orangtua saya. Pak Ton juga adalah teman dari paman saya, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Dia menjabat sebagai Atase Pertahanan di London. Dia juga memiliki karier gemilang di TNI. Dia adalah sosok terkemuka di Kodam Siliwangi, yang kemudian dikenal sebagai Divisi Siliwangi. Dalam operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono tampil sebagai komandan batalyon yang unggul. Saat pemberontakan G30S/PKI terjadi, dia adalah Kepala Staf Kodam Siliwangi. Akhirnya, dia menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, lalu menjadi Panglima Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Saat itu, dia berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Dia sering mengenakan beret Kujang. Dia diidolakan sebagai sosok pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibu kota Jakarta. Selama masa Orde Baru, dia adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Dia berani membenahi Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya dan rekan-rekannya. Akibatnya, dia dituduh mendukung tindakan teror dan sempat dipenjara secara singkat.

Pada saat itu, saya masih seorang perwira muda. Saya khawatir karena saya tahu dia difitnah dan dijebak mungkin oleh kelompok dalam Angkatan Darat yang tidak menyukainya. Saat dia dipenjara, saya masih seorang Letnan Dua. Ketika saya mengikuti kursus dasar sesuai dengan bidang di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Kemudian, saat saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab atas pembangunan markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktornya. Saya mengetahui bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan sebuah perusahaan furniture dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan tersebut. Kemudian, saya ditegur oleh salah satu perwira senior, yang mengatakan, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…

Source link