Our Difficult Choices and Struggles

by -95 Views

Oleh: Prabowo Subianto, cuplikan dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045”, halaman 223-227, edisi softcover keempat.

Bagi saya, masuk ke dalam dunia politik berarti menerima pengorbanan—tenaga, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak akan ada cara bagi saya untuk meningkatkan kehidupan banyak orang.

Sungguh, saya yakin bahwa perbaikan substansial dalam kehidupan warga negara kita tidak dapat dicapai dengan hanya mengeluh dan mencela. Tidak juga kita dapat memperbaiki negara kita dengan hanya diam di pinggir lapangan atau dengan menghujat tanpa tindakan.

Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli terhadap politik nasional kita. Ada yang mungkin tidak. Bagi yang belum, saya mendorong Anda untuk merenungkan hal berikut.

Di satu titik dalam hidup, kita harus membuat pilihan sulit. Apakah kita berdiri untuk kebenaran, atau kita membenarkan kebohongan?

Apakah kita dengan tegas membela integritas dan kemerdekaan negara kita serta nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Atau, kita tunduk pada rayuan uang, menjual nilai-nilai kita, diri kita, identitas kita, dan martabat kita?

Pilihan-pilihan seperti ini sungguh sulit.

Pada tahun 1945, para pemimpin kita menghadapi dilema serupa: untuk menyatakan kemerdekaan atau menunggu diberikan oleh penjajah. Mereka yang mendorong untuk pernyataan segera mengambil risiko segalanya, termasuk nyawa mereka.

Di malam 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapi dengan pilihan sulit: menyerah kepada tuntutan Inggris dengan menyerahkan senjata mereka menjelang 9 November atau menghadapi serangan dari kekuatan global pada masa itu.

Bayangkan pukulan bagi kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya tunduk pada tuntutan asing? Di mana martabat kita berada hari ini?

Krisis besar bangsa kita pada tahun 1965 juga menimbulkan pilihan yang jelas: mempertahankan Pancasila atau tunduk pada ideologi asing bagi negara kita, komunisme?

Demikian pula, selama era Reformasi tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan sistem yang tidak demokratis atau dengan berani memperjuangkan reformasi dan demokrasi?

Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya telah konsisten menyampaikan pesan yang terdapat dalam buku ini. Di sepanjang jalan itu, banyak lawan telah berusaha mencemarkan nama saya, menggambarkan saya sebagai orang yang haus kekuasaan dan cenderung kekerasan.

Namun, setelah beberapa dekade, saya telah membuktikan komitmen saya terhadap perdamaian. Sebagai seorang mantan prajurit yang telah menyaksikan perang dan korban-korbannya, yang telah melihat rekan-rekan jatuh dan harus memberitahu keluarga mereka tentang kematian mereka, saya selalu memilih jalan perdamaian. Fitnah yang dilemparkan kepada saya adalah benar-benar tanpa dasar. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, meskipun sebagian dari keluarga saya adalah orang Kristen. Di antara orang-orang terdekat saya—pengawal, ajudan, dan sekretaris—beberapa adalah orang Kristen.

Sebagai seorang mantan prajurit TNI, saya bersumpah untuk mempertahankan semua warga Indonesia, tidak peduli suku, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan saya dari berbagai latar belakang telah gugur di bawah komando saya.

Bagaimana mungkin saya bisa mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya?

Saya juga difitnah sebagai anti-Tionghoa, meskipun selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah semacam itu adalah sisi gelap dari politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap sabar dan tenang. Jangan merespons kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kita tetap sabar, kita juga harus siap—secara mental, fisik, dan spiritual. Bagi yang membaca buku ini, saya meminta Anda untuk merenungkan dalam ketenangan malam tentang pendapat Anda, sikap Anda, tanggapan Anda.

Saya bertanya-tanya apakah kita secara kolektif akan membela kebenaran atau tunduk pada kebohongan, pada penipuan, pada ketidakadilan?

Dan dalam hari-hari mendatang, setelah refleksi Anda, saya mengundang Anda untuk mengambil langkah-langkah menuju masa depan. Saya telah memilih untuk bertarung dengan landasan konstitusi. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan keliru. Saya percaya bahwa apa yang saat ini dialami Indonesia sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.

Saya memiliki bukti kuat atas keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu sabar dan percaya pada kekuatan kita sendiri.

Source link