Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -78 Views

Dalam bagian ini, saya akan berbagi kisah tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang rekan seperjuangan mereka. Ketika saya kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, kedua paman saya, Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Salah satunya, langsung menjadi perwira. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran. Mungkin karena lulus dari kedokteran, dia langsung menjadi perwira. Yang lainnya masuk ke Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah di Jakarta, ada ruang khusus untuk Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya, di Taman Matraman waktu itu, dipertahankan. Tas ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka. Jadi setiap kali saya datang ke sana, kakek saya sudah menyiapkan tenda Subianto untuk dipasang lagi. Saya pun diajak untuk bermain di tenda-tendaan. Saya dibawa ke kamarnya, dan ditunjukkan “ini tas ranselnya, ini sepatunya, ini helmnya, itu tempat tidurnya.”

Dua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama rekan seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang mendirikan Akademi Militer Tangerang pada usia 17 tahun.

Elias Daniel Mogot, atau yang dikenal sebagai Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang dalam karirnya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Ketika bergabung dengan PETA, sebenarnya ia belum memenuhi syarat usia yang ditetapkan pemerintah militer Jepang, yaitu 18 tahun.

Namun, ia dikenal sangat pandai dan berprestasi selama pendidikan militer. Ia kemudian dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Berbekal pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekan perwira lainnya menggagas pendirian akademi militer. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta, dan pada November 1945, Militaire Academie Tangerang (MAT) didirikan.

Karena kegigihan dan keberhasilannya memimpin pasukan, ia menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Tugasnya adalah mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot berangkat dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha. Misi operasi ini bertujuan mencegah senjata tentara Jepang yang sudah menyerah agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu Gurkha berhasil meyakinkan pihak Jepang bahwa rombongan tersebut merupakan gabungan TNI dan Sekutu. Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe untuk menjelaskan maksud kedatangannya.

Sementara di luar, para kadet di bawah pimpinan Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang berhasil dikumpulkan. Namun tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang yang menduga mereka dijebak, sehingga mereka mulai sigap dan menembaki para kadet MAT.

Para kadet MAT berusaha melawan dan melepaskan tembakan, namun pertempuran dianggap tidak seimbang. Pertempuran berakhir saat hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan oleh pasukan tentara Jepang, sementara beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Dua paman saya, Subianto berusia 21 tahun, sedangkan Sujono berusia 16 tahun. Peristiwa ini sekarang dikenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong. (Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/)

Source link